Status
gizi pendek (Stunting) adalah salah satu bentuk gizi kurang yang diukur
berdasarkan standar deviasi referensi WHO tahun 2005.1 Stunting diukur dengan
indikator pengukuran tinggi badan terhadap umur TB/U menurut WHO child growth
standart yaitu apabila nilai z-score TB/U <- 2 SD.2 Indikator TB/U
memberikan indikasi masalah gizi yang
sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan,
perilaku hidup tidak sehat dan pola asuh atau pola makan yang kurang baik sejak
anak dilahirkan sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek.
Prevalensi stunting berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 dan 2010 pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu
36,8% (18,8% sangat pendek dan 18,0% pendek) pada tahun 2007 dan 35,6% (18,5%
sangat pendek dan 17,1% pendek) pada tahun 2010 sehingga dapat disimpulkan
bahwa stunting terjadi pada lebih dari sepertiga balita di Indonesia.3 Prevalensi
stunting di
Kalimantan
Selatan berdasarkan data Riskesdas 2007 sebesar 41,8% dengan rincian 20,9%
sangat pendek dan 20,9% pendek. Kabupaten Banjar menjadi salah satu daerah yang
memiliki prevalensi balita stunting paling parah di Kalimantan Selatan yaitu
sekitar 49,9% dengan rincian 25,8% sangat pendek dan 24,1% pendek.4 Stunting
atau kegagalan pertumbuhan tubuh pada balita dapat menyebabkan berbagai masalah
bagi balita, diantaranya yaitu dapat mempengaruhi waktu erupsi gigi susu dan
meningkatkan resiko terjadinya karies gigi.
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang
diawali proses demineralisasi. Survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2010 menunjukkan prevalensi penduduk Indonesia yang menderita karies gigi
sebesar 80% - 90% dimana diantaranya adalah golongan anak. Berdasarkan data
Riskesdas 2013, prevalensi nasional masalah gigi-mulut sebesar 31,1%, mengalami
peningkatan dari tahun 2009 sebesar 29,7%2. Peningkatan prevalensi karies gigi
sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula dan kurangnya pemanfaatan flour.
Karies gigi dapat mempengaruhi nafsu makan dan intake gizi sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi status
gizi anak yang berimplikasi pada kualitas sumber daya. Status gizi merupakan
faktor yang dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Karies gigi
merupakan penyakit yang dapat mengganggu kondisi gizi anak sehingga dapat
menyebabkan masalah gizi. Tingkat konsumsi macronutrient dan micronutrient
tidak hanya berhubungan dengan status gizi tetapi juga dapat berhubungan
dengan tingkat keparahan karies gigi. Karies gigi menyebabkan terganggunya
fungsi pengunyahan (mastikasi) yang dapat mempengaruhi asupan makan dan
status gizi. Gigi yang sakit akan mempengaruhi status gizi melalui mekanisme
terganggunya fungsi pengunyahan. Konsumsi makanan tersebut dengan frekuensi
sering dan berulang ulang akan menyebabkan pH plak dibawah normal dan
menyebabkan demineralisasi enamel dan terjadilah pembentukan karies gigi.
Karies gigi yang terjadi pada anak akan
menyebabkan munculnya rasa sakit sehingga anak akan menjadi malas makan dan
juga akan menyebabkan tulang disekitar gigi menjadi terinfeksi. Apabila
terjadi kerusakan pada tahap yang berat atau sudah terjadi abses maka gigi akan
dapat tanggal. Anak yang kehilangan beberapa giginya tidak dapat makan dengan
baik kecuali makanan yang lunak. Seseorang dengan alat pengunyahan yang tidak
baik akan memilih makanan sesuai dengan kekuatan kunyahnya sehingga pada
akhirnya akan menyebabkan malnutrisi
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadI 29,6%
pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita
pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan
menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013
yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari
hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang
sudah diupayakan oleh pemerintah. Asupan zat gizi pada balita sangat penting
dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak
terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting.
Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5%
mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami
defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan. Stunting dapat
meningkatkan resiko terjadinya karies karena berkurangnya fungsi saliva sebagai
sebagai buffer, pembersih, anti pelarut, dan anti bakteri rongga mulut.
Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan seumur
hidup.
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang
diawali proses demineralisasi. Survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2010 menunjukkan prevalensi penduduk Indonesia yang menderita karies gigi
sebesar 80% - 90% dimana diantaranya adalah golongan anak. Berdasarkan data
Riskesdas 2013, prevalensi nasional masalah gigi-mulut sebesar 31,1%, mengalami
peningkatan dari tahun 2009 sebesar 29,7%2. Peningkatan prevalensi karies gigi
sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula dan kurangnya pemanfaatan flour.
Karies gigi dapat mempengaruhi nafsu makan dan intake gizi sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi status
gizi anak yang berimplikasi pada kualitas sumber daya. Status gizi merupakan
faktor yang dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Karies gigi
merupakan penyakit yang dapat mengganggu kondisi gizi anak sehingga dapat
menyebabkan masalah gizi.
Karies gigi yang terjadi pada anak akan
menyebabkan munculnya rasa sakit sehingga anak akan menjadi malas makan dan
juga akan menyebabkan tulang disekitar gigi menjadi terinfeksi. Apabila
terjadi kerusakan pada tahap yang berat atau sudah terjadi abses maka gigi akan
dapat tanggal. Anak yang kehilangan beberapa giginya tidak dapat makan dengan
baik kecuali makanan yang lunak. Seseorang dengan alat pengunyahan yang tidak
baik akan memilih makanan sesuai dengan kekuatan kunyahnya sehingga pada
akhirnya akan menyebabkan malnutrisi
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadI 29,6%
pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun
2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada
tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita
pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita
pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga
menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah.
Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai
dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth
faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita
di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk
kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami
defisit ringan. Stunting dapat meningkatkan resiko terjadinya karies karena
berkurangnya fungsi saliva sebagai sebagai buffer, pembersih, anti pelarut, dan
anti bakteri rongga mulut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar